Apakah Kita Bisa Jadi Kaya Karena AI atau Makin Tergusur?

Gelombang kecerdasan buatan (AI) yang kian canggih memunculkan dua narasi besar: satu penuh harapan, satu lagi penuh ketakutan. Di satu sisi, AI disebut mampu meningkatkan produktivitas hingga berlipat ganda, membuka jalan bagi gagasan seperti Universal Basic Income (UBI) dengan jumlah yang fantastis—bahkan mencapai $10.000 per bulan (setara Rp162 juta) menurut mantan peneliti OpenAI, Miles Brundage.
Baca juga: 7 Komponen yang Harus Dihindari Saat Rakit PC Gaming Murah
Namun di sisi lain, banyak yang justru melihat ancaman: jutaan pekerjaan manusia terancam hilang. Jika AI bisa menulis, menganalisis data, mendesain, bahkan menciptakan kode lebih cepat dan murah dibanding pekerja manusia, maka bagaimana masyarakat luas bisa bertahan?
Pertanyaan mendasar: jika AI menciptakan kekayaan luar biasa, siapa yang benar-benar menikmatinya? Apakah semua orang akan mendapat bagian melalui UBI yang layak, atau hanya segelintir korporasi teknologi yang semakin menguatkan monopoli?
Eksperimen Sam Altman di 2016 memang menunjukkan bahwa penerima UBI tetap bekerja, bahkan hidup lebih sehat, lebih tenang, dan lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Tapi angka saat itu hanya $1.000 (Rp16 jutaan) per bulan—jauh dari cukup untuk kondisi masa kini.
Kaya untuk Sebagian, Miskin untuk Banyak Orang?
Masalahnya, siapa yang benar-benar akan mendapat bagian dari kekayaan baru yang diciptakan AI? Apakah seluruh masyarakat bisa menikmatinya, atau hanya segelintir korporasi teknologi yang semakin mengokohkan monopoli?
Tanpa distribusi yang adil, AI justru bisa memperlebar jurang ketidaksetaraan:
- Mereka yang punya akses ke AI dan modal bisa kaya lebih cepat.
- Mereka yang hanya pekerja biasa terancam kehilangan mata pencaharian, menjadi kelas “tersingkir” dalam ekosistem digital baru.
Eksperimen UBI memang pernah menunjukkan dampak positif—orang hidup lebih sehat, lebih tenang, bahkan lebih selektif memilih pekerjaan. Tapi itu dengan angka $1.000 (Rp16 jutaan) per bulan—jauh dari cukup untuk standar modern.
Ancaman Budaya “Tanpa Kerja”
Elon Musk bahkan pernah berkata semua pekerjaan akan hilang digantikan AI, sementara Bill Gates memprediksi manusia hanya akan bekerja 2–3 hari seminggu. Kedengarannya utopis, tapi apakah masyarakat siap dengan dunia tanpa kewajiban kerja? Tanpa fondasi budaya, politik, dan ekonomi yang jelas, risiko stagnasi peradaban ala film WALL-E bukan mustahil.
AI memang bisa menciptakan masyarakat paling sejahtera dalam sejarah manusia. Tapi menjadi kaya karena AI bukanlah otomatisasi—itu soal pembagian hasil. Tanpa kebijakan publik yang jelas, jutaan orang justru akan jatuh miskin karena terpinggirkan dari sistem ekonomi baru.
Singkatnya, Ya, AI bisa bikin sebagian orang sangat kaya. Namun, kalau hasil dari AI hanya dikuasai perusahaan besar, banyak orang justru berisiko kehilangan pekerjaan dan semakin miskin.
VIDEO TERBARU MURDOCKCRUZ :