Memahami Batas Aman Pendengaran di Era Suara Bising

Di era digital saat ini, kita makin terbiasa hidup berdampingan dengan suara—mulai dari headphone di telinga, lalu lintas di jalan, hingga konser atau bahkan sound system ekstrem di acara hajatan. Tapi seiring meningkatnya paparan suara keras dalam kehidupan sehari-hari, semakin penting bagi kita untuk memahami satu hal mendasar: batas aman pendengaran.
Baca juga: MSI Cyborg 15 A13V: Rekomendasi Laptop Gaming RTX 4060 Paling Murah Tahun 2025?
Table of Contents
Apa Itu Batas Aman Pendengaran?
Secara teknis, batas aman pendengaran diukur dengan satuan desibel (dB)—menggambarkan tingkat tekanan suara terhadap telinga manusia. Organisasi seperti WHO dan NIOSH menetapkan bahwa:
- 85 dB adalah batas aman maksimal jika terpapar selama 8 jam sehari.
- Setiap kenaikan 3 dB akan mengurangi separuh durasi aman.
→ 88 dB = aman selama 4 jam
→ 91 dB = aman selama 2 jam
→ 100 dB = aman hanya sekitar 15 menit
Ini bukan angka teoritis semata. Terpapar suara keras secara terus-menerus bisa merusak sel rambut halus di telinga bagian dalam, dan sayangnya, kerusakan ini tidak bisa dipulihkan.
Kita sering tidak sadar kalau suara yang kita anggap “biasa” sebenarnya sudah melebihi batas aman:
Aktivitas/Sumber | Estimasi dB | Aman? |
Percakapan normal | 60–65 dB | Ya |
Jalan raya padat | 80–85 dB | Terbatas |
Headphone volume 100% | 95–110 dB | Tidak aman |
Konser musik/live show | 110–120 dB | Sangat tidak aman |
Sound horeg | 130–150 dB | Bahaya langsung |
Dampak Jika Batas Ini Dilanggar
Paparan suara keras melebihi batas aman bisa menyebabkan:
- Tinnitus (denging permanen di telinga)
- Hilangnya pendengaran frekuensi tinggi secara perlahan
- Kerusakan saraf pendengaran
- Gangguan konsentrasi dan kualitas tidur
- Bahkan pada level ekstrem: trauma akustik dan gendang telinga pecah
Yang mengkhawatirkan, gangguan pendengaran kini tidak hanya menyerang lansia, tapi juga anak muda karena kebiasaan seperti misalnya penggunaan earphone dengan volume tinggi dalam waktu lama.
Sayangnya, kesadaran akan kesehatan pendengaran di Indonesia masih rendah. Bahkan dalam acara publik, termasuk konser hingga hajatan desa, level suara bisa melewati batas 120–140 dB tanpa ada regulasi atau pengawasan. Masyarakat bahkan menganggap suara keras adalah bagian dari “meriah”.
Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kita menghadapi epidemi gangguan pendengaran dini, terutama di kalangan muda.
Kesimpulan
Suara keras itu mungkin saja menyenangkan… sampai kalian sadar kalau kalian tidak bisa lagi mendengar bisikan, atau menikmati musik seperti dulu. Telinga manusia punya batas, dan batas itu bukan untuk diuji—tapi untuk dijaga.
Mulailah dari diri sendiri: dengarkan dengan cerdas, bukan dengan keras.
VIDEO TERBARU MURDOCKCRUZ :