Ketahuan Curang: Dosen & Mahasiswa Sama-Sama Pakai AI

Fenomena penggunaan AI generatif seperti ChatGPT dalam dunia pendidikan kini mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sementara banyak guru dan dosen melarang penggunaannya karena dianggap melemahkan kemampuan berpikir kritis, beberapa dari mereka justru ketahuan melakukan hal yang sama — dengan hasil yang mengecewakan.
Baca juga: Gainward GeForce RTX 5060 Ti Python III 16GB: Harga Terjangkau, Performa Terbaik?
Sebuah laporan dari The New York Times menyoroti kasus Ella Stapleton, mahasiswa Northeastern University, yang menemukan bukti bahwa dosennya menggunakan ChatGPT untuk membuat materi kuliah. Ia melaporkan dosennya secara resmi ke kampus dan menuntut pengembalian uang kuliah sebesar $8.000, karena merasa dibohongi.
Stapleton mendapati ada instruksi eksplisit untuk ChatGPT di tengah catatan kuliah: “expand on all areas. Be more detailed and specific.” Setelah itu, ia menelusuri lebih jauh dan menemukan kejanggalan pada slide presentasi: gambar anatomi yang salah, typo aneh, dan kalimat-kalimat yang tidak masuk akal — tanda khas hasil generatif AI yang tidak diedit ulang.
Meski tidak mendapat pengembalian uang, insiden ini memaksa sang dosen mengevaluasi ulang metode mengajarnya. Northeastern University sendiri masih memperbolehkan penggunaan GenAI, namun kini mewajibkan penanda jelas dan proses editing untuk menghindari “halusinasi” AI.
Sayangnya, kejadian serupa bukan hal langka. Seorang mahasiswa Southern New Hampshire University pindah kampus setelah dua dosennya meninggalkan jejak prompt ChatGPT di komentar tugas esai. Ia curiga tugasnya bahkan tidak dibaca.
AI: Alat Bantu atau Candu Akademik?
Sementara dosen-dosen tertangkap basah menggunakan AI secara sembrono, fokus publik kini kembali tertuju pada para mahasiswa. Laporan New York Magazine menunjukkan bahwa mayoritas siswa di berbagai survei mengakui menggunakan AI dalam hampir setiap tugas. Mulai dari membuat kerangka tulisan hingga menyalin langsung hasil chatbot sebagai tugas akhir.
Beberapa mahasiswa menyunting ulang hasil AI, tapi banyak pula yang tidak — hingga masih ada kalimat seperti “As an AI, I am instructed to…” muncul di makalah yang dikumpulkan. Guru-guru kini bisa mengenali tanda-tanda khas AI: tata bahasa terlalu mulus, kesalahan fakta yang mencolok, dan frasa yang terkesan generik.
Namun ironisnya, studi di sebuah universitas di Inggris mengungkapkan bahwa dosen hanya bisa mengenali 3% tugas yang dibuat AI. Keyakinan bahwa mereka bisa “mencium” makalah buatan ChatGPT rupanya tidak seakurat yang dibayangkan.
Pendidikan vs Teknologi: Siapa Menyesuaikan Siapa?
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sistem pendidikan masih relevan ketika baik pengajar maupun siswa sama-sama bergantung pada alat otomatisasi?
Sebuah video viral dari guru Bahasa Inggris kelas 10 memperlihatkan kekhawatiran serupa. Ia menyatakan bahwa banyak siswa tidak bisa membaca dengan baik karena terbiasa mendengarkan teks melalui teknologi. Bahkan untuk soal opini pribadi, siswa tetap menggunakan AI — menunjukkan bahwa teknologi mulai menggantikan kemampuan berpikir individu.
Masalahnya bukan hanya pada etika atau keaslian tugas, tapi juga pada hilangnya proses belajar itu sendiri. Jika kuliah hanya menjadi ajang “seberapa lihai saya menggunakan ChatGPT,” seperti yang dikatakan seorang mahasiswa di Utah, maka pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang curang, tapi siapa yang masih belajar?
VIDEO TERBARU MURDOCKCRUZ :